Laman

Jumat, 28 Mei 2010

Pidana Mati Bagi Koruptor


Dalam perjalanan penerapan pidana mati sebagai salah satu bentuk hukuman di Indonesia, ternyata baru dapat dilaksanakan bagi kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan terorisme, narkotika. Masyarakat Indonesia masih menunggu di terapkannya pidana mati bagi koruptor yang mencuri uang rakyat yang seharusnya diperuntukkan demi peningkatan kesejahteraan rakyat. Pengadilan Tipikor sebagai institusi yang berwenang mengadili perkara korupsi belum pernah menjatuhkan pidana mati bagi koruptor yang menyengsarakan rakyat banyak. Padahal dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi di katakan bahwa dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Keberanian aparat pro justitia dalam melakukan penegakan hukum bagi koruptor masih sebatas pada hukuman penjara seumur hidup dan uang pengganti. Jika kita menoleh ke Negara Cina yang telah berani menerapkan pidana mati bagi pejabat Negara yang melakukan korupsi serta hukuman tersebut dilakukan dimuka umum, maka akan memberikan efek jera bagi pejabat negara untuk melakukan hal yang sama lagi patut untuk ditiru oleh pengadilan Tipikor.

Korupsi di Indonesia menjadi permasalahan yang sangat pelik untuk dibasmi, sudah mengakarnya budaya korupsi di dalam darah pejabat negara menjadikan negara ini terpuruk kepada jurang kemiskinan dan kebodohan. Keberadaan hukum sebagai alat untuk mengontrol tidak berbanding lurus dengan implementasi penegakkan hukum di ruang persidangan. Hukum yang selayaknya harus dioperasionalisasikan dalam bentuk keputusan yang sejalan dengan rasa keadilan masyarakat masih saja dalam batas-batas wacana diskusi dan literatur di bangku pendidikan. Ketegasan dan taring hukum untuk menutup ruang gerak bagi pejabat negara melakukan korupsi juga senantiasa bisa dikompromikan dalam bentuk mafia kasus maupun mafia peradilan.

Kedigdayaan hukum seakan runtuh oleh banyaknya rupiah dan dollar yang mengalir ke kantong-kantong aparat penegak hukum. Kekhawatiran hakim dalam menjatuhkan pidana mati kepada sang koruptor masih terbelenggu oleh birokrasi dan jaring-jaring koorporasi korupsi di tingkat pusat sampai dengan daerah. Ke-independensi-an aparat penegak hukum masih dapat di taklukkan oleh penggunaan kekuatan koersif pejabat negara yang berada dalam lingkaran level tertentu. Pada akhirnya supremasi hukum hanya akan menjadi sebuah political agreement dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kehadiran dan penerapan pidana mati dalam pemberantasan korupsi barangkali patut di coba sebagai upaya untuk menekan laju korupsi yang terjadi tidak hanya di pusat tapi juga di daerah. Banyaknya uang negara yang menguap merupakan bukti tumbuh suburnya budaya korupsi di tengah masyarakat. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi mulai dari himbauan, slogan, pelatihan, pendidikan, namun kesemua hal tersebut belum mampu untuk menggugah kesadaran para pelaku korupsi. System of thought dari aparatur negara yang masih menjadikan hukum sebagai suatu barang dagangan yang dapat diperjual belikan justru memperlancar transaksi tersebut. Kewibawaan hukum yang terwujud dalam putusan hakim tidak mampu untuk membuat gentar pejuang-pejuang korupsi sehingga sudah sangat dibutuhkan algojo yang tidak pandang bulu untuk menjatuhkan pidana mati kepada koruptor agar dapat memberikan efek jera dan ketakutan bagi para koruptor untuk melakukan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar