Laman

Selasa, 06 Juli 2010

Sengkarut BI

BI sejatinya memiliki independensi kuat untuk untuk memutuskan dan menjalankan kebijakan moneternya, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia. Tapi dalam prakteknya, BI dapat dikatakan gagal dalam melaksanakan independensinya.

Terbukti, banyak skandal yang menyertai perjalanan bank sentral ini: kasus korupsi, kasus suap juga kebijakan-kebijakan penalangan keuangan yang dianggap merugikan rakyat. Disinyalir, ada intervensi kekuatan politik nasional, terutama dari partai berkuasa dalam berbagai skandal tersebut.

Upaya pelimpahan fungsi pengawasan BI kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang seharusnya terbentuk pada 2002 sebagaimana diisyaratkan oleh UU No 23/1999, terganjal. Dalam UU BI yang baru (UU No 3/2004) justru ketentuan pengalihan pengawasan bank dari BI kepada pihak lain diperlemah. Sejumlah pihak memandang pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang dalam perjalanannya turut bertanggung jawab dalam kasus bailout Bank Century, adalah sebagai upaya mempertahankan status quo BI sehingga tetap “mudah” diintervensi.

Bukan itu saja, selama sepuluh tahun terakhir, sangat terasa bahwa kebijakan BI sesungguhnya juga telah diintervensi terlalu jauh oleh pihak asing. Sejak negeri ini dilanda krisis ekonomi pada 1997, bayang-bayang IMF begitu kuat dalam setiap kebijakan BI. Bahkan hal ini masih terasa hingga sekarang.

Konon, karena pengaruh IMF itulah, BI enggan mengeluarkan kebijakan perbankan yang mendukung pemberian kredit secara memadai pada sektor riil di Indonesia. Padahal sektor riil saat itu sangat membutuhkan kucuran dana dan di sisi lain BI memiliki dana parkir yang besar, 700 triliun rupiah.

Penandatanganan terakhir Letter of Intent (LoI) antara IMF dan Pemerintah Indonesia dilakukan pada Desember 2003. Setelah penandatanganan, pemerintah memperoleh pencairan pinjaman terakhir sekitar US$ 400 juta. Total pinjaman yang dikucurkan lembaga kreditor internasional tersebut sejak krisis hingga program terakhir sebesar US$ 13 juta!

LoI terakhir yang ditandatangi itu terkait kesanggupan Indonesia untuk melaporkan perkembangan program ekonomi yang telah dicapai. Juga menyertakan sisa pekerjaan yang harus dirampungkan: penyehatan perbankan oleh BPPN, privatisasi BUMN, disiplin fiskal dan kestabilan moneter.

Meski pada 2003, Indonesia telah memutuskan mengakhiri program IMF, namun itu dengan konsekuensi. Mulai 2004 IMF mengawasi pemerintah melalui “post program monitoring”. Pengawasan ini berlangsung hingga hutang Pemerintah Indonesia kepada IMF lunas.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, bahkan beberapa tahun sesudahnya, BI tidak kuasa melaksanakan independensinya. Kekuasaan dan pihak asing telah membuat sengkarut Bank Indonesi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar