Laman

Sabtu, 24 Juli 2010

Perang ekonomi

Selain agresi militer, sesungguhnya ada perang lain yang bisa berlangsung tenang dan tetap mematikan, yakni perang ekonomi. Kita tidak mudah memahami bahwa perang yang tenang semacam itu sesungguhnya juga memiliki kekuatan yang sama mengerikannya dengan perang militer.

Bahkan, dibandingkan dengan perang militer, perang ekonomi yang tidak gegap gempita juga mengabarkan sisi muram pembunuhan manusia dengan cara yang bisa jadi lebih menyedihkan.

Peperangan dilancarkan untuk menghancurkan musuh tanpa meletuskan sebutir peluru pun. Di tingkat yang paling ekstrem, perang ekonomi menunjukkan daya hancur yang tak ubahnya bom nuklir: melemahkan rakyat dan melumpuhkan infrastruktur.

Dari mulai cara yang paling halus digunakan untuk melanvarkan peperangan ekonomi, ketika negara-negara di sekitar kita mempersiapkan benteng pertahanan ekonominya, negeri ini malah sibuk menghacurkan benteng ekonomi yang telah dibangun dengan susah payah oleh pemimpin terdahulu.

Skenario adu domba dan mencari kambing hitam masih saja terus terjadi, tidak jelas apa yang akan dilakukan. Semua berdiri di atas kebenaran yang naif.

Minggu, 18 Juli 2010

Akhirnya "naga" cina betul betul melilit Garuda

Mungkin judul diatas terlalu Provokatif bagi sekelompok orang yang mengetahui tentang permainan ekonomi ini, tetapi itulah kenyataan sekarang. Bak sebuah Grand Disain yang mulai terkuak tetang MOU ACFTA yang di sepakati oleh beberapa negara ASEAN termasuk Indonesia.

Disini yang kita bahas adalah cuma indonesia dan bukan negara yang di sekitar kita. Pada awal-awal ACFTA di ini kumandangkan sudah mengundang pro dan kontra tentang bakal hancurnya sistem perekonomian indonesia terutama industri dasar yang banya menggunakan tenaga kerja padat karaya.

Ntah terlibat dalam skenario apa tidak, pemerintah lewat mentri perdagangan sangat gencar meyakinkan kalangan industri dan pengusaha bahwa ACFTA ini akn menguntungkan hubungan Indonesia dengan China.

Tak hanya itu, dari hasil pantau ada beberapa media yang sangat gencar mengkampanyekan bahawa ACFTA sanagt menguntungkan dan tidak merugikan, beberapa MEDIA MASSA yang dari Januari sampai kira-kira maret, lewat tulisan dan analisa sangat gencar mengkampanyekan keuntungan perdagangan Indonesia-China.

Beberapa topik seperti usaha batik,tekstil dan beberapa komoditi yang dianggap aman. seperti ada yang mengatusr bahwa hubungan perdangan ini akan aman dang menguntungkan Indonesia.

Kenyataannya sekarang ketika pemerintah Indonesia menaikan tarif listrik untuk industri, yang akhirnya membuat industri kita megap-megap karena pasti akan menaikan ongkos produksi.

Dan bukan tidak mungkin perusahan tutup,dan memilih menjadi importir barang-barang dari China yang murah meriah.

jadi bisa dibayangkan tenaga kerja produktif kita Hancur hanya gara-gara pemerintah bermain dengan konspirasinya. Dapat dibayangkan jika buruh-buruh perempuan akan menjadi PELACUR demi mempertahankan hidupnya, Buruh laki-laki akan menjadi RAMPOK demi Hidupnya,anak-anak mereka akan kembali kejalan dan menjalani TRAFIKING.

Dapat dibayangkan bagaimana Operasi Intelijen China yang menggerakkan agen-agen Diasporanya untuk keuntungan negaranya.

Cukup wajar bila banyak orang takut. Selama dua tahun terakhir, neraca perdagangan Indonesia-Cina telah bernilai negatif. Selain itu, sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari bahwa barang Cina telah membanjiri pasar dalam negeri. Cukup banyak pengusaha pun telah menyatakan kesulitannya untuk bersaing dengan produk-produk murah Cina dan beberapa ahli telah memperkirakan hilangnya ratusan ribu pekerjaan karena banyak perusahaan akan gulung tikar karena kalah dalam persaingan.

Semua kondisi ini terlihat sangat menyudutkan Indonesia, apalagi ketika dihadapkan dengan ACFTA. Namun, seperti apa sebenarnya pola perdagangan yang terjadi dengan China?

Data perdagangan yang ditunjukkan oleh komisi perdagangan PBB ternyata cukup mengejutkan. Berlawanan dengan kepercayaan umum bahwa Ekspor Indonesia ke China utamanya adalah bahan mentah, ternyata porsi terbesar ekspor Indonesia ke China adalah barang konsumsi (tahun 2008: 35,5% dari ekspor Indonesia-Cina), lalu di tempat kedua adalah bahan mentah (tahun 2008: 31,7% dari total ekspor Indonesia-China), dan di tempat ketiga adalah barang setengah jadi (tahun 2008: 28% dari total ekspor Indonesia-China).

Selain itu, juga berlawanan dengan kepercayaan umum bahwa impor Indonesia dari Cina adalah barang konsumsi sehingga industri pengolahan akan mati, ternyata impor utama Indonesia dari Cina adalah barang modal (tahun 2008: 43,3% dari total impor Indonesia dari China), lalu di tempat kedua adalah barang setengah jadi (tahun 2008: 35,5% dari total impor Indonesia dari China) dan baru di tempat ketiga lah barang konsumsi (tahun 2008: 14,7% dari total impor Indonesia dari China.

Tak dapat di pungkiri bahwa sekarang Naga China Betul-Betul Melilit Garuda Yang secara Politik negerinya surat carut marut.

Selasa, 06 Juli 2010

Sengkarut BI

BI sejatinya memiliki independensi kuat untuk untuk memutuskan dan menjalankan kebijakan moneternya, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia. Tapi dalam prakteknya, BI dapat dikatakan gagal dalam melaksanakan independensinya.

Terbukti, banyak skandal yang menyertai perjalanan bank sentral ini: kasus korupsi, kasus suap juga kebijakan-kebijakan penalangan keuangan yang dianggap merugikan rakyat. Disinyalir, ada intervensi kekuatan politik nasional, terutama dari partai berkuasa dalam berbagai skandal tersebut.

Upaya pelimpahan fungsi pengawasan BI kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang seharusnya terbentuk pada 2002 sebagaimana diisyaratkan oleh UU No 23/1999, terganjal. Dalam UU BI yang baru (UU No 3/2004) justru ketentuan pengalihan pengawasan bank dari BI kepada pihak lain diperlemah. Sejumlah pihak memandang pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang dalam perjalanannya turut bertanggung jawab dalam kasus bailout Bank Century, adalah sebagai upaya mempertahankan status quo BI sehingga tetap “mudah” diintervensi.

Bukan itu saja, selama sepuluh tahun terakhir, sangat terasa bahwa kebijakan BI sesungguhnya juga telah diintervensi terlalu jauh oleh pihak asing. Sejak negeri ini dilanda krisis ekonomi pada 1997, bayang-bayang IMF begitu kuat dalam setiap kebijakan BI. Bahkan hal ini masih terasa hingga sekarang.

Konon, karena pengaruh IMF itulah, BI enggan mengeluarkan kebijakan perbankan yang mendukung pemberian kredit secara memadai pada sektor riil di Indonesia. Padahal sektor riil saat itu sangat membutuhkan kucuran dana dan di sisi lain BI memiliki dana parkir yang besar, 700 triliun rupiah.

Penandatanganan terakhir Letter of Intent (LoI) antara IMF dan Pemerintah Indonesia dilakukan pada Desember 2003. Setelah penandatanganan, pemerintah memperoleh pencairan pinjaman terakhir sekitar US$ 400 juta. Total pinjaman yang dikucurkan lembaga kreditor internasional tersebut sejak krisis hingga program terakhir sebesar US$ 13 juta!

LoI terakhir yang ditandatangi itu terkait kesanggupan Indonesia untuk melaporkan perkembangan program ekonomi yang telah dicapai. Juga menyertakan sisa pekerjaan yang harus dirampungkan: penyehatan perbankan oleh BPPN, privatisasi BUMN, disiplin fiskal dan kestabilan moneter.

Meski pada 2003, Indonesia telah memutuskan mengakhiri program IMF, namun itu dengan konsekuensi. Mulai 2004 IMF mengawasi pemerintah melalui “post program monitoring”. Pengawasan ini berlangsung hingga hutang Pemerintah Indonesia kepada IMF lunas.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, bahkan beberapa tahun sesudahnya, BI tidak kuasa melaksanakan independensinya. Kekuasaan dan pihak asing telah membuat sengkarut Bank Indonesi

TNI dan Hak Pilih dalam Pemilu

Wacana pengembalian hak pilih anggota TNI dalam pemilu kembali mengemuka. Dalam beberapa kesempatan, pihak TNI sendiri menyatakan bahwa persoalan ini terus menjadi bahan pembahasan dan pengkajian di internal institusinya.

Presiden SBY ketika berdialog dengan wartawan di Istana Cipanas, Cianjur, Jawa Barat 18 Juni kemarin, memberikan sinyal positif. Menurut Presiden, keikutsertaan prajurit TNI dalam pemilu akan ditentukan oleh undang-undang. Menjadi tugas DPR dan Pemerintah untuk membuat undang-undang ini, tentu dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.

Masih menurut Presiden, Indonesia memang masih menyimpan kekhawatiran masa lalu, bahwa TNI akan terpecah jika harus mengikuti pemilu. Potensi perpecahan ini berbahaya karena tentara memegang senjata. Dalam kerangka hak asasi, di negara-negara lain tentara memiliki hak memilih dalam pemilu.

Menanggapi wacana dan pandangan Presiden SBY tersebut, beberapa kalangan memberikan pendapat beragam. Sebagian memberikan dukungan, sebagian lain masih menolak. Ada juga yang berpendapat moderat dengan mengembalikan kepada kesiapan TNI sendiri. Sementara yang berpendapat kritis, masih menuntut tanggung jawab TNI dalam mereformasi total dirinya sebelum diberikan hak pilihnya dan itupun lebih baik secara bertahap.

Wacana pengembalian hak pilih TNI kali ini, bisa jadi akan memperoleh respon lebih konkrit baik dari TNI sendiri, Pemerintah maupun DPR karena sebenarnya sudah menggelinding sejak 2002. Menurut anda, apakah TNI memang perlu memiliki hak pilih dalam pemilu?