Laman

Selasa, 05 Oktober 2010

Mari tumbuhkan ke-indonesiaan

Sudah selayaknya, intelijen kita seperti,  BIN, BAIS dan INTELKAM dan Kementerian Dalam Negeri (KOMINDA) serta kelompok masyarakat baik tergabung dalam Ormas/LSM maupun parpol; untuk melakukan pengkajian secara serius dan segera mengambil langkah-langkah yang efektif dalam membangun identitas ke-Indonesia-an secara bermartabat dan berdasarkan pada keiklashan dan pembangunan moral serta spirit bangsa yang tanpa membedakan ras dan suku bangsa.

Bangsa Indonesia didalamnya masih menyimpan potensi besar rasisme dimana antar suku bangsa saling memiliki prasangka dan sikap diskriminasi. Orang Jawa misalnya sering dihina dengan sebutan Jawa Koek dan menjadi bahan banyolan di Jakarta, Orang Padang dilabelkan dengan sikap kikir atau disebut Padang Bengkok, orang Batak dengan kekasarannya atau disebut Batak Makan Orang, orang Betawi yang sikap kampungannya atau disebut Orang Pinggiran, orang Papua dengan kebodohan atau disebut Blaki; serta hinaan lainnya kepada suku yang ada di Indonesia. Sadarkah kita, bahwa semua sikap saling menghina tersebut secara tidak langsung telah mengoyak persaudaraan kita dalam kebangsaan Indonesia .

Benar bila dikatakan tidak ada bangsa Indonesia, yang ada hanya sekumpulan suku-suku bangsa yang secara iklash bersatu membentuk satu bangsa baru Indonesia, hampir sama dengan Amerika yang sebenarnya merupakan kumpulan bangsa imigran dari berbagai benua di dunia. Akan tetapi kenapa Amerika cuma sekali dalam sejarah melakukan perang saudara sedangkan kita berkali-kali bahkan sudah menjadi semacam tradisi selain korupsi.

Bahaya laten dari diskriminasi antar suku bangsa jauh lebih besar dari pada laten Komunis, Imperialisme ataupun Radikalisme Agama, karena taruhannya adalah pecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara-negara kecil yang lemah (sudah ada bukti Timor Leste, dimana ketika pisah masih tetap tidak bisa berdiri di kakinya sendiri bahkan sampai sekarang masih tetap dijaga oleh tentara dari UN). Oleh karena itu, perlu dibangun sejak dini bagaimana sesungguhnya potret bangsa Indonesia yang ideal dan kita harapkan bersama.

Bangsa Indonesia yang beraneka suku bangsa harus dibangun atas dasar kesamaan derajat sebagai umat manusia. Kita lahir setara sebagai manusia terlepas dari latar belakang etnisitas yang melekat sebagai keturunan dari orang tua kita. Prinsip ini harus ditanamkan sejak usia dini di sekolah dasar dan diperkuat hingga dewasa melalui peraturan yang menjamin bahwa perlakuan diskriminatif melanggar hukum positif di Indonesia .

Sebagai sebuah negara demokratis, sikap anti diskriminasi adalah sejalan. Bahkan dari kacamata adat istiadat maupun agama yang dipeluk di seluruh Nusantara, penghargaan terhadap kemanusiaan yang tidak membedakan latar belakang suku juga sejalan. Lalu dimana letak kesalahan kita sebagai anak bangsa?

Terjadinya pengkotak-kotakan dalam hubungan sosial dan kuatnya penanaman rasa berbeda diantara kita telah melahirkan batasan dalam hubungan sosial yang sehat. Kita hampir selalu menyimpan prasangka terhadap sesama saudara bangsa kita. Padahal kita semua pada saat yang bersamaan mendambakan persaudaraan yang tulus dalam membangun Indonesia Raya.

Setelah kita membangun prinsip-prinsip anti diskriminasi di sekolah dasar dan lanjutan, serta menciptakan koridor hukum yang melindungi kita semua dari tindakan diskriminatif, maka diperlukan pula sebuah tata kelola sosial, ekonomi dan hukum yang menjamin bahwa praktek diskriminatif tidak akan dapat berkembang. Hal itu mencakup pendidikan publik melalui berbagai media yang dilakukan secara terus-menerus, bukankah kita memiliki Kementerian Kominfo yang seharusnya melakukan kegiatan tersebut?

Pada tingkat masyarakat, gerakan civil society yang turut memperkuat pondasi anti diskriminasi perlu didukung oleh berbagai pihak termasuk pemerintah. Hal ini akan secara efektif menembus sekat-sekat perbedaan. Namun prosesnya tidak boleh dipaksakan melainkan berjalan secara wajar, normal dan bertahap untuk menghindari resistensi yang bersifat kekerasan atau provokasi tertentu dengan memperkuat isu perbedaan.

Keluhan di propinsi lain dalam isu diskriminasi relatif telah mulai menghilang, namun di Papua tampaknya hal ini masih cukup besar dan kita semua wajib membuka mata dan memperhatikan apa yang terjadi di Papua. Perbedaan fisik yang cukup menyolok seringkali menimbulkan "rasa" berbeda, hal inilah yang harus kita proses dalam persaudaraan sejati demi masa depan kita sebagai sebuah bangsa yang besar. Apabila "rasa" tersebut tidak dapat diatasi dengan pendidikan, dengan pembangunan komunikasi sehat, dengan proses pembauran yang wajar serta dengan sikap saling menghormati, tentunya kita akan terus terjebak dalam pe"rasa"an berbeda, membedakan dan dibedakan.

Namun proses ini tidak dapat terjadi dalam waktu semalam, karena masyarakat begitu luas dan banyak elemennya sehingga, konflik personal kadang kala dikembangkan menjadi konflik yang bersifat antar ras seperti yang terjadi baru-baru ini di Tarakan, hal inilah yang harus dihindari. Pengalaman-pengalaman personal tidak dapat menjadi justifikasi terjadinya praktek diskriminasi secara terstruktur, namun berdasarkan pengalaman personal tersebut kita dapat gunakan untuk menghindari terjadinya diskriminasi yang disengaja secara struktural.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar