Laman

Senin, 09 Agustus 2010

Diplomasi ASEAN, RI Tak Bergigi

Pada 8 Agustus, ASEAN menginjak usia yang ke-43. Seiring kematangan usianya tersebut, tantangan yang dihadapi organisasi negara-negara sekawasan di Asia Tenggara ini terlihat semakin besar.

Dalam lingkup internal, beberapa persoalan lama masih belum dapat terseleseikan dengan tuntas, misalnya, isu perbatasan di antara beberapa negara anggotanya. Soal lain, menyangkut persaingan ekonomi. Didalamnya termasuk soal perdagangan ilegal, pencurian kekayaan alam dan penyelundupan tenaga kerja.

Potensi persoalan internal yang lebih aktual, menyangkut isu global terorisme. Beberapa (bahkan dapat dikatakan sebagian besar) negara di kawasan ASEAN menjadi basis pergerakan dan aksi terorisme.

Kita tengok, Indonesia, yang menjadi basis pergerakan sekaligus sasaran aksi. Kemudian, Malaysia, yang di antara warganya menjadi gembong teroris. Filipina, salah satu wilayahnya (Filipina Selatan) menjadi medan pelatihan kelompok Islam radikal. Demikian juga dengan Thailand yang menjadi salah satu basis pelarian kelompok teroris. Sedangkan, Singapura, yang menjadi simbol “kapitalisme” di ASEAN tak luput dari berbagai ancaman aksi terorisme. Dari negara ini juga diduga ada jejak jaringan kelompok teroris yang bergerak di beberapa negara sasaran aksi teror.

Dalam lingkup eksternal, persoalan keamanan dan kedaulatan kawasan ASEAN saat ini sedang diuji. Adanya persaingan kepentingan ekonomi, politik dan ideologi antara AS dan Cina yang begitu gencar dalam satu dasawarsa terakhir ini, memposisikan ASEAN sebagai salah satu kawasan perebutan.

Kawasan ASEAN dibidik, tentu saja terkait dengan faktor sumber daya alam dan potensi pasarnya yang sangat besar. Selain itu, yang tidak kalah penting, adalah menyangkut pengamanan kepentingan AS dan Cina melalui peran negara-negara ASEAN. AS dan Cina ingin “mengusai” ASEAN untuk mengamankan kepentingan di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.

Tidak dapat dipungkiri, melalui dua jalur laut tersebut, AS maupun Cina memiliki kepentingan yang besar atas lancarnya pasokan minyak dan sebagian besar kepentingan perdagangannya. Tidak heran jika pada akhirnya muncul perebutan pengaruh di antara kedua negara di wilayah ASEAN.

Sejauh ini, Cina sangat gencar merangkul Indonesia dan Malaysia untuk membendung pengaruh AS. Sementara, negara ASEAN lainnya, khususnya Singapura dan Filipina kurang disukai Cina karena dianggap lebih dekat ke AS.

Perebutan pengaruh juga dilakukan oleh Australia di ASEAN. Melalui PM-nya yang baru, Pemerintah Australia menawarkan bantuan ekonomi dan tehnologi pertahanan untuk membendung para imigran gelap yang banyak masuk ke negaranya melalui negara-negara ASEAN. Selain karena kepentingan nasionalnya untuk menjaga keamanan negaranya, sangat mungkin, yang dilakukan Australia ini berkaitan dengan strategi AS untuk memperbesar langkah-langkahnya membendung pengaruh Cina. Australia, selama ini dikenal sebagai polisi AS di kawasan Asia-Pasifik.

Negara-negara anggota ASEAN bukannya tidak menyadari berbagai tantangan tersebut. Beberapa pertemuan tingkat menteri dan kepala pemerintahan digelar untuk meresponnya. Sayang, berbagai kesepakatan dan kerjasama banyak terpengaruh (dimanfaatkan) oleh AS maupun Cina: Treaty of Amity and Cooperation (TAC) untuk perang terhadap terorisme; Declaration of Parties in the South China Sea (DOC) terkait lintas batas di Laut Cina Selatan.

Berbagai bantuan dan kerjasama oleh Cina maupun AS juga Australia pada akhirnya mengalir ke negara-negara ASEAN: dana, pelatihan dan tehnologi anti teror, kerjasama perdagangan bahkan pertahanan maritim. Hanya saja, semua bantuan itu berimbas pada meningkatnya pengaruh kedua negara di kawasan ASEAN, pemerintahan negara-negara ASEAN-pun akhirnya menjadi kurang mandiri dalam melaksanakan kerjasama itu. Dan yang perlu diwaspadai, kondisi itu dapat menciptakan konflik baru di kawasan.

Jika dimasa lalu, beberapa negara ASEAN pernah menjadi kekuatan penting (melalui diplomasinya yang berwibawa dan mandiri) bagi ASEAN dan kawasan regional lain, saat ini dikhawatirkan hanya sebagai “bemper” kepentingan negara-negara besar.

Khusus bagi Indonesia, kondisinya juga tidak jauh beda. Meski tetap diakui sebagai negara penting dan berpengaruh di ASEAN, kenyataannya, dalam diplomasinya di ASEAN, RI Tak Bergigi! Dalam kasus-kasus perbatasan dengan Malaysia, perdagangan gelap, pencurian SDA dan kasus-kasus tenaga kerja, pemerintah tidak pernah bisa tegas. Demikian pula terkait pengaruh kepentingan Cina maupun AS di ASEAN dan Indonesia sendiri, pemerintah negara ini lebih senang menjadi bemper dengan imbalan bantuan tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar