Laman

Rabu, 11 Agustus 2010

SOA, Kroasia

SOA atau Sigurnosno Obavjestajna Agencija, adalah Badan intelijen Republik Kroasia. Badan intelijen ini didirikan pada 2006 setelah diberlakukannya the Scurity and Intelligence System of the Republic of Croatia Act atau sejak dikombinasikannya dua badan intelijen yang kini tidak beroperasi lagi, yaitu, Counterintelligence Agency (POA) dan the Intelligence Agency (OA). SOA dipimpin oleh seorang direktur yang diangkat oleh presiden.

Sebagai lembaga pemerintah di bidang keamanan, SOA bertanggungjawab untuk mengumpulkan, menganalisis, mengolah dan mengevaluasi data intelijen untuk keamanan nasional. Tugas ini ditujukan untuk mendeteksi dan mencegah kegiatan individu atau kelompok yang membahayakan konstitusi dan kedaulatan Kroasia.

Operasi intelijen yang dilakukan SOA diatur berdasarkan Strategi keamanan Nasional, Strategi Pertahanan, Panduan Tahunan untuk Keamanan dan Operasi Badan Intelijen serta beberapa undang-undang lain. Cakupan operasi intelijen SOA meliputi pencegahan dan penanggulangan: kegiatan yang bertujuan merusak struktur kekuasaan negara; kegiatan ekstrimis yang mengancam tatanan demokrasi dan HAM, kejahatan terorganisir yang mengancam keamanan dan ekonomi negara; kejahatan yang mengancam pejabat tinggi negara; juga kejahatan perang terhadap warga negara.

SOA juga melakukan kerjasama internasional dengan badan-badan intelijen asing dan lembaga lainnya. Bentuknya bisa berupa pertukaran informasi, peralatan atau operasi bersama.

Terkait dengan pengawasan terhadap SOA, dapat dikatakan badan intelijen Kroasia ini lebih maju. Pengawasan dilakukan secara bersama-sama oleh parlemen, ahli dan masyarakat, disebut sebagai tiga tingkatan pengawasan.

Parlemen mengawasi melalui komisi bidang keamanan nasional. Para ahli mengawasi melalui dewan keamanan nasional. Publik mengawasi melalui the Civilian Oversight of Security and Intelligence Agencies. Jumlah anggota lembaga pengawasan sipil ini enam orang yang merepresentasikan sebagai wakil masyarakat dari berbagai bidang.

Selain pengawasan oleh pihak eksternal, SOA juga memliki pengawasan internal. Pengawasan internal dilakukan untuk mencegah kegiatan-kegiatan ilegal staf dan agen SOA, termasuk penyalagunaan kekuasan atau data.

Di bawah pemerintahan Presiden IVO Josipovic yang memenangi pemilu presiden 2010, SOA menjadi tulang punggung keamanan Kroasia dalam melancarkan perang terhadap kejahatan terorganisir. Hal ini tidak terlepas dari janji kampanye sang presiden yang bertekad membebaskan Kroasia dari berbagai bentuk kejahatan terorganisir yang banyak mengancam keamanan dan ekonomi negaranya.

Sejak berdirinya SOA memang sudah dihadapkan dengan agenda besar, perang melawan teroris dan kejahatan internasional. Salah satu kelompok yang ditakutkan oleh SOA adalah kelompok wahabis yang dianggap mengajarkan paham radikalisme.

Senin, 09 Agustus 2010

Diplomasi ASEAN, RI Tak Bergigi

Pada 8 Agustus, ASEAN menginjak usia yang ke-43. Seiring kematangan usianya tersebut, tantangan yang dihadapi organisasi negara-negara sekawasan di Asia Tenggara ini terlihat semakin besar.

Dalam lingkup internal, beberapa persoalan lama masih belum dapat terseleseikan dengan tuntas, misalnya, isu perbatasan di antara beberapa negara anggotanya. Soal lain, menyangkut persaingan ekonomi. Didalamnya termasuk soal perdagangan ilegal, pencurian kekayaan alam dan penyelundupan tenaga kerja.

Potensi persoalan internal yang lebih aktual, menyangkut isu global terorisme. Beberapa (bahkan dapat dikatakan sebagian besar) negara di kawasan ASEAN menjadi basis pergerakan dan aksi terorisme.

Kita tengok, Indonesia, yang menjadi basis pergerakan sekaligus sasaran aksi. Kemudian, Malaysia, yang di antara warganya menjadi gembong teroris. Filipina, salah satu wilayahnya (Filipina Selatan) menjadi medan pelatihan kelompok Islam radikal. Demikian juga dengan Thailand yang menjadi salah satu basis pelarian kelompok teroris. Sedangkan, Singapura, yang menjadi simbol “kapitalisme” di ASEAN tak luput dari berbagai ancaman aksi terorisme. Dari negara ini juga diduga ada jejak jaringan kelompok teroris yang bergerak di beberapa negara sasaran aksi teror.

Dalam lingkup eksternal, persoalan keamanan dan kedaulatan kawasan ASEAN saat ini sedang diuji. Adanya persaingan kepentingan ekonomi, politik dan ideologi antara AS dan Cina yang begitu gencar dalam satu dasawarsa terakhir ini, memposisikan ASEAN sebagai salah satu kawasan perebutan.

Kawasan ASEAN dibidik, tentu saja terkait dengan faktor sumber daya alam dan potensi pasarnya yang sangat besar. Selain itu, yang tidak kalah penting, adalah menyangkut pengamanan kepentingan AS dan Cina melalui peran negara-negara ASEAN. AS dan Cina ingin “mengusai” ASEAN untuk mengamankan kepentingan di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.

Tidak dapat dipungkiri, melalui dua jalur laut tersebut, AS maupun Cina memiliki kepentingan yang besar atas lancarnya pasokan minyak dan sebagian besar kepentingan perdagangannya. Tidak heran jika pada akhirnya muncul perebutan pengaruh di antara kedua negara di wilayah ASEAN.

Sejauh ini, Cina sangat gencar merangkul Indonesia dan Malaysia untuk membendung pengaruh AS. Sementara, negara ASEAN lainnya, khususnya Singapura dan Filipina kurang disukai Cina karena dianggap lebih dekat ke AS.

Perebutan pengaruh juga dilakukan oleh Australia di ASEAN. Melalui PM-nya yang baru, Pemerintah Australia menawarkan bantuan ekonomi dan tehnologi pertahanan untuk membendung para imigran gelap yang banyak masuk ke negaranya melalui negara-negara ASEAN. Selain karena kepentingan nasionalnya untuk menjaga keamanan negaranya, sangat mungkin, yang dilakukan Australia ini berkaitan dengan strategi AS untuk memperbesar langkah-langkahnya membendung pengaruh Cina. Australia, selama ini dikenal sebagai polisi AS di kawasan Asia-Pasifik.

Negara-negara anggota ASEAN bukannya tidak menyadari berbagai tantangan tersebut. Beberapa pertemuan tingkat menteri dan kepala pemerintahan digelar untuk meresponnya. Sayang, berbagai kesepakatan dan kerjasama banyak terpengaruh (dimanfaatkan) oleh AS maupun Cina: Treaty of Amity and Cooperation (TAC) untuk perang terhadap terorisme; Declaration of Parties in the South China Sea (DOC) terkait lintas batas di Laut Cina Selatan.

Berbagai bantuan dan kerjasama oleh Cina maupun AS juga Australia pada akhirnya mengalir ke negara-negara ASEAN: dana, pelatihan dan tehnologi anti teror, kerjasama perdagangan bahkan pertahanan maritim. Hanya saja, semua bantuan itu berimbas pada meningkatnya pengaruh kedua negara di kawasan ASEAN, pemerintahan negara-negara ASEAN-pun akhirnya menjadi kurang mandiri dalam melaksanakan kerjasama itu. Dan yang perlu diwaspadai, kondisi itu dapat menciptakan konflik baru di kawasan.

Jika dimasa lalu, beberapa negara ASEAN pernah menjadi kekuatan penting (melalui diplomasinya yang berwibawa dan mandiri) bagi ASEAN dan kawasan regional lain, saat ini dikhawatirkan hanya sebagai “bemper” kepentingan negara-negara besar.

Khusus bagi Indonesia, kondisinya juga tidak jauh beda. Meski tetap diakui sebagai negara penting dan berpengaruh di ASEAN, kenyataannya, dalam diplomasinya di ASEAN, RI Tak Bergigi! Dalam kasus-kasus perbatasan dengan Malaysia, perdagangan gelap, pencurian SDA dan kasus-kasus tenaga kerja, pemerintah tidak pernah bisa tegas. Demikian pula terkait pengaruh kepentingan Cina maupun AS di ASEAN dan Indonesia sendiri, pemerintah negara ini lebih senang menjadi bemper dengan imbalan bantuan tertentu.

Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

Isu terorisme tetap menjadi perhatian utama Pemerintah Indonesia. Pada 16 Juli lalu Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomer 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

BNPT menjadi lembaga non-kementerian yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden dan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dikoordinasikan oleh Menkopolhukam. Selain Polri, TNI dan kementrian di bawah Kemenkopolhukam, beberapa kementrian lain, seperti, Deplu, Depdiknas, Depsos, Depag dilibatkan juga dalam badan ini. Sedangkan di luar unsur pemerintah, ada perguruan tinggi, ormas, LSM dan tokoh agama.

Pertimbangan yang medasari terbitnya Perpres ini, bahwa, terorisme, masih menjadi ancaman nyata dan serius yang setiap saat dapat membahayakan keamanan bangsa dan negara. Terorisme juga disebutkan sebagai kejahatan kemanusiaan yang bersifat lintas negara, terorganisasi dan mempunyai jaringan luas, serta mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional, sehingga diperlukan penanganan secara terpusat, terpadu, dan terkoordinasi.

Dalam konteks penanganan yang terpusat, terpadu dan terkoordinasi itulah, BNPT dibentuk. Lembaga yang merupakan peningkatan kapasitas Desk Anti Teror yang sudah ada sebelumnya ini, bertugas menyusun kebijakan nasional, mengkoordinasi instansi pemerintah terkait dan melaksanakan kebijakan penanggulangan terorisme.

Yang menarik, adalah dengan dilibatkannya banyak unsur dalam BNPT. Pada satu sisi, hal ini memungkinkan penanganan terorisme menjadi lebih komprehensif. Tetapi, pada sisi lain, berpotensi mengurangi peran Polri yang selama ini (melalui satuan khusus anti terornya, Densus 88) menjadi garda depan penanganan terorisme.

Beberapa kritikan langsung berhamburan terhadap terbentuknya badan baru ini. Dikatakan,yang terutama, adalah akan terjadi tumpang tindih kewenangan dan munculnya gengsi antar lembaga. Antara Polri dan TNI, misalnya. Atau di antara unsur kementerian yang terlibat.